MAKALAH
PROSES PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA ILLEGAL
FISHING
(Kasus -
Kasus Illegal Fishing di Periaran Arafura)
Disusun
untuk memenuhi tugas akhir semester dan sebagai pengganti Ujian Akhir
Semester
Disusun
oleh:
NAMA : ALI PURNOMO
PUTRO
NIM :
115080200111012
KELAS : P01
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2013
KATA
PENGANTAR
Puji
syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat-Nya dan
sholawat serta salam tetap tercurahkan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW yang
telah menuntun dari jalan yang gelap gulita menuju jalan yang terang benderang sehingga
penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Proses Penegakan Hukum Terhadap Tindak
Pidana Illegal Fishing”.
Makalah
ini disusun guna memberikan informasi mengenai Proses Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Illegal
Fishing, dan juga untuk memenuhi tugas
mata kuliah Hukum dan Peraturan Perikanan.
Penulis
mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah mendukung dalam
penyusunan makalah ini semoga terus berkarya mewujudkan tulisan-tulisan yang
mengacu terwujudnya generasi masa depan yang lebih baik. Penulis berharap,
semoga informasi yang ada dalam makalah ini dapat berguna bagi penulis
khususnya dan bagi para pembaca pada umumnya.
Penulis
menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna, banyak kekurangan dan
kesalahan. Penulis menerima kritik dan saran guna kesempurnaan makalah ini.
Malang, 10 Juni 2013
Hormat kami,
Penulis
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR............................................................................................... i
DAFTAR
ISI.............................................................................................................. ii
BAB
1. PENDAHULUAN......................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang..................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah............................................................................................... 2
1.3 Tujuan Penulisan................................................................................................. 2
BAB
2. PEMBAHASAN........................................................................................... 3
2.1 Proses Penegakan Hukum Terhadap
Tindak Pidana Illegal Fishing.................. 3
2.3
Faktor – Faktor Pendukung.................................................................................
4
2.3 Faktor – Faktor Penghambat.............................................................................. 5
2.4 Upaya – Upaya Penegakan Hukum
Terhadap Tindak Pidana Illegal Fishing.... 9
BAB
3. PENUTUP.................................................................................................... 11
3.1 Kesimpulan.......................................................................................................... 11
3.2 Saran................................................................................................................... 11
DAFTAR
PUSTAKA................................................................................................ 12
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Laut Arafura
merupakan salah satu Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) dari 10 WPP yang
ditetapkan melalui Keputusan Menteri Pertanian No. 995/kpts/IK.210/9/99. Laut ini terletak di
Indonesia bagian timur yang secara yuridiksi terdiri dari 2 jenis perairan,
yaitu perairan teritorial dan ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif). Kekayaan sumberdaya ikan
strategis, seperti udang, tuna/cakalang, cumi-cumi, ikan demersal dan karang
serta bola-bola (teripang) yang
melimpah, telah menarik banyak armada penangkapan dari luar kawasan, bahkan
dari negara-negara sekitar, untuk beroperasi di wilayah ini. Namun demikian, kenyataan
di lapangan saat ini, kondisi sumberdaya ikan (SDI) di Laut Arafura cenderung
menunjukkan gejala penangkapan yang berlebihan atau yang kita kenal dengan
istilahover fishing. Kegiatan
penangkapan ikan selama ini cenderung memandang bahwa SDI adalah kekayaan milik
bersama (common property) dan dapat dimanfaatkan tanpa batas (open access), dan
hal tersebut secara perlahan harus mulai kita ditinggalkan.
Transformasi
paradigma tersebut perlu mengedepankan pemanfaatan sumberdaya ikan secara
optimal dengan memperhatikan keadilan distribusi pemanfaatan. Penerapan
prinsip-prinsip pengelolaan yang bertanggung jawab ini secara operasional di
lapangan memang seringkali mengalami banyak kendala. Sumberdaya ikan di wilayah
perikanan Laut Arafura yang cukup melimpah dan beraneka ragam, bila
dimanfaatkan melebihi daya dukungnya, akan terancam kelestariannya. Ancaman
terhadap kelestarian sumberdaya ikan terjadi sebagai akibat dari pelaku usaha
yang memanfaatan sumberdaya ikan secara tidak bertanggung jawab dan tidak
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, tidak dilaporkan dan
tidak diatur, atau dikenal dengan istilah Illegal, Unreported, Unregulated
(IUU) Fishing.
Untuk menjaga
sumberdaya ikan agar dapat dimanfaatkan secara optimal dan lestari, perlu
didasarkan pada suatu Rencana Pengelolaan Perikanan (RPP). Hal ini sejalan
dengan amanat Pasal 33 Undang Undang Dasar Tahun 1945, yang diatur lebih lanjut
dalam Undang - Undang Nomor 31 Tahun 2004 dan perubahannya Undang - Undang
Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan
dan Undang - Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia. Kebijaksanaan (Policy) diartikan sebagai tata cara untuk mencapai
suatu tujuan dengan mempertimbangkan hal-hal terbaik. Dalam bahasa sehari-hari
kebijaksanaan didefinisikan sebagai upaya atau tindakan melanggar peraturan dan
ketentuan yang ada untuk memecahkan suatu masalah tanpa merugikan pihak lain.
Hal ini bisa terjadi karena peraturan yang dilanggar itu dibuat tanpa kajian
yang mewakili semua kepentingan masyarakat. Dengan kata lain, hukum, undang - undang, peraturan
dan ketentuan yang dibuat asal jadi akan melahirkan banyak kebijaksanaan dalam
memecahkan masalah kemasyarakatan (Mantjoro, 1993).
Kebijaksanaan
adalah keputusan yang dibuat pemerintah atau lembaga berwenang untuk memecahkan
masalah atau mewujudkan tujuan yang diinginkan masyarakat. Kebijaksanaan dapat
mempengaruhi kehidupan masyarakat dan keikutsertaan masyarakat dapat
mempengaruhi keseluruhan proses kebijaksanaan, mulai dari perumusan,
pelaksanaan sampai pada penilaian kebijaksanaan (Abidin, 2005).
1.2. Rumusan masalah
·
Bagaimana Proses Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Illegal
Fishing?
·
Apa saja Faktor – Faktor Pendukung Proses Penegakan
Hukum?
·
Apa saja Faktor – Faktor Penghambat Proses Penegakan
Hukum?
·
Bagaimana Upaya – Upaya Penegakan Hukum Terhadap Tindak
Pidana Illegal Fishing?
1.3. Tujuan Penulisan
·
Untuk mengetahui Proses Penegakan Hukum Terhadap Tindak
Pidana Illegal Fishing.
·
Untuk mengetahui Faktor – Faktor Pendukung Proses
Penegakan Hukum.
·
Untuk mengetahui Faktor – Faktor Penghambat Proses
Penegakan Hukum.
·
Untuk mengetahui Upaya – Upaya Penegakan Hukum Terhadap
Tindak Pidana Illegal Fishing.
BAB 2. PEMBAHASAN
2.1. Proses Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Illegal
Fishing (Kasus - kasus Illegal
Fishing di periaran Arafura).
Penegakan hukum
terhadap tindak pidana Illegal Fishing telah menjadi isu publik yang saat ini
sering diperbincangkan oleh masyarakat sejak adanya Kegiatan Pengawasan Gelar
Patroli Keamanan Lautyang dimulai sejak Tahun 2005 sampai dengan
sekarang. Data menunjukkan jumlah perkara yang diterima dari Penyidik TNI –
Angkatan Laut yang masuk ke Pengadilan Negeri Merauke pada Tahun 2005 sampai
dengan 2008 adalah sebanyak 56 (Lima
Puluh Enam) kasus. Tindak
pidana Illegal Fishing yang
diperiksa dan diadili dan diputus oleh
Pengadilan Negeri Merauke hampir seluruhnya berasal dari Perairan Laut
Arafura Kabupaten Merauke yang merupakan atau masih termasuk wilayah hukum
Pengadilan Negeri Merauke.
Dengan adanya
kegiatan pengawasan Gelar Patroli Keamanan Laut yang dimulai sejak Tahun 2005 sampai dengan sekarang
menunjukkan keseriusan Pemerintah dalam memberantas berbagai kegiatan
penangkapan ikan secara ilegal di Indonesia. Selain di Perairan Laut Arafura
Kabupaten Merauke banyak pula kasus – kasus Illegal Fishing yang tertangkap di daerah -
daerah lain seperti di Sumatera Utara, Sumatera Barat, Kepulauan Riau, Kalimantan
Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Sulawesi
Selatan, NTB, Maluku dan Maluku Utara.
Dari 56 (Lima
Puluh Enam) kasus yang diterima dari Penyidik TNI - Angkatan Laut oleh
Pengadilan Negeri Merauke tidak seluruhnya merupakan tindak pidana perikanan
namun tercatat dari 56 (lima puluh
Enam) kasus yang diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Negeri Merauke tersebut
42 (Empat Puluh Dua) kasus merupakan tindak pidana perikanan, 10 (Sepuluh)
kasus merupakan tindak pidana pelayaran dan 3 (Tiga) kasus lainnya merupakan
tindak pidana yang melanggar ketentuan Undang – Undang Zona Ekonomi Eksklusif
(ZEE).
2.2. Faktor – Faktor Pendukung
Adanya
seperangkat aturan (norma hukum) yang mengatur tentang tindak pidana perikanan
yaitu:
1) Undang - Undang Nomor 31
Tahun 2004 dan perubahannya Undang - Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang
Perikanan,
2) UU No. 27
Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau – Pulau Kecil serta
aturan pelaksanaannya lainnya seperti : Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2005
tentang Usaha Perikanan,
3) Peraturan
Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan,
4) Peraturan
Pemerintah Nomor 30 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penelitian dan
Pengembangan Perikanan,
5). Peraturan
Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.13/MEN/2005 tentang Forum Koordinasi
Penanganan Tindak Pidana di Bidang Perikanan,
6) Peraturan
Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.14/MEN/2005 tentang Komisi Nasional
Pengkajian Sumber Daya Ikan,
7). Peraturan
Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.15/MEN/2005 tentang Penangkapan Ikan
dan/atau Pembudidaya Ikan Di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia
Yang Bukan Untuk Tujuan Komersial,
8). Peraturan
Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.05/MEN/2008 tentang Usaha Perikanan
Tangkap, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.06/MEN/2008 tentang
Penggunaan Pukat Hela di Perairan Kalimantan Timur Bagian Utara, Peraturan
Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.08/MEN/2008 tentang Penggunaan Alat Penangkap
Ikan Jaring Ingsang (Gill Net) di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI).
Tersedianya
Lembaga Penegak Hukum di kabupaten Merauke yang terdiri atau yang meliputi :
Kepolisian Resort Merauke, Lantamal - XI Merauke, Kejaksaan Negeri Merauke,
Pengadilan Negeri Merauke, Advokat dan Lembaga Pemasyarakatan Kelas II b
Merauke, sarana dan Prasarana teknologi dan telekomunikasi sebagai penunjang
proses penegakan hukum Tindak Pidana Illegal Fishing di Perairan Laut Arafura
Kabupaten Merauke. Walaupun dalam kenyataannya dan pelaksanaannya berbagai
sarana dan prasarana tersebut belum memadai, dan respon yang sangat positif
dari Pemerintah Daerah dalam membantu Kegiatan Pengawasan Gelar Patroli
Keamanan Laut dalam rangka mencegah terjadinya tindak pidana Illegal Fishing yang semakin marak di Wilayah Pengelolaan
Perikanan Republik Indonsia.
2.3. Faktor – Faktor Penghambat
Obyek Penegak Hukum Sulit Ditembus Hukum
Obyek yang
dimaksud disini adalah pelaku yang terlibat dalam kejahatan Illegal
Fishing yaitu pelaku yang menjadi otak
dari kegiatan tersebut. Terutama dalam hal ini adalah oknum Pejabat Penyelenggara Negara, oknum Aparat
Penegak Hukum atau oknum Pegawai Negeri Sipil yang tidak diatur secara khusus
dalam Undang – Undang tentang Perikanan tersebut. Penerapan Pasal 56 ayat (1)
KUHP yang mengkualifikasikan pelaku tindak pidana sebagai orang yang melakukan,
yang menyuruh melakukan dan yang turut serta melakukan perbuatan pidana dapat
juga diterapkan dalam kejahatan Illegal Fishing yang melibatkan banyak pihak. Namun
demikian beban pidana yang harus ditanggung secara bersama dalam terjadinya
tindak pidana Illegal Fishing juga dapat
mengurangi rasa keadilan masyarakat, karena dengan kualitas dan akibat
perbuatan yang tidak sama terhadap pelaku turut serta, dapat dipidanakan
maksimum sama dengan si pembuat menurut ketentuan Pasal 56 ayat (1) KUHP,
sedangkan ternyata peranan pelaku utamanya sulit ditemukan.
Lemahnya Koordinasi Antar Penegak Hukum
Lemahnya
koordinasi antar Instansi Penegak Hukum dapat menimbulkan tumpang tindih
kewenangan dan kebijakan masing – masing, sehingga sangat rawan menimbulkan
konflik kepentingan. Penegakan hukum yang tidak terkoordinasi merupakan salah
satu kendala dalam penanggulangan kejahatan Illegal Fishing.
Proses
peradilan mulai dari penyidikan hingga ke persidangan membutuhkan biaya yang sangat besar,
proses hukum yang sangat panjang dan sarana / prasarana yang sangat memadai
membutuhkan keahlian khusus dalam penanganan kasus tersebut. Dalam satu
Instansi tentu tidak memiliki semua komponen, data/informasi ataupun sarana dan
prasarana yang dibutuhkan dalam rangka penegakan hukum. Oleh karena itu diperlukan
koordinasi dan kerjasama yang sinergis antar Instansi yang terkait dalam upaya
penegakan hukum terhadap Illegal Fishing tersebut.
Dalam
pemberantasan kejahatan Illegal Fishing
yang terjadi di Indonesia sering ditemui bahwa yang merupakan salah satu
kendala dalam pemberantasan Illegal Fishing ialah disebabkan oleh kurangnya
koordinasi yang efektif dan efisien antara berbagai Instansi yang terkait, yang
mana sesuai dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor
PER/11/MEN/2006 tentang Perubahan Peraturan Menteri Nomor PER/13/MEN/2005
tentang Forum Koordinasi Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Perikanan yaitu
dalam hal ini terdapat 10 (sepuluh) Instansi yang terkait yang berada dalam
satu mata rantai pemberantasan Illegal
Fishing yang sangat menentukan proses penegakan hukum kejahatan perikanan yaitu
: Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kepolisian Republik Indonesia,
TNI - Angkatan
Laut, Kejaksaan Agung, Kementerian Hukum dan HAM Ditjen Keimigrasian,
Kemeterian Perhubungan Ditjen Perhubungan Laut, Kementerian Keuangan Ditjen Bea
dan Cukai, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi Ditjen Pembinaan
Pengawasan Ketenagakerjaan, Mahkamah Agung dan Pemerintah Daerah
Provinsi/Kabupaten/Kota. Koordinasi
antar berbagai Instansi tersebut sangat menentukan keberhasilan dalam penegakan
hukum pidana terhadap kejahatan Illegal Fishing yang merupakan kejahatan
terorganisir yang memiliki jaringan yang sangat luas mulai dari penangkapan
ikan secara ilegal, tanshipment ikan ditengah laut hingga eksport ikan secara
ilegal.
Masalah Pembuktian
Berbicara
mengenai masalah pembuktian yang dianut oleh hukum pidana Indonesia adalah
sistem negatif (negatif wettelijke stelsel) yang merupakan gabungan dari sistem
bebas dengan sistem positif (Syahrani, 1983:129). Lebih lanjut menurut Syahrini
bahwa dalam sistem negatif Hakim hanya boleh menjatuhkan pidana terhadap
terdakwa apabila berdasarkan bukti – bukti yang sah menurut hukum sehingga
Hakim mempunyai keyakinan bahwa terdakwalah yang telah bersalah melakukan
tindak pidana. Hal ini berdasarkan ketentuan Pasal 183 UU No. 8 Tahun 1981
KUHAP, yang menyatakan bahwa : “ Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada
seorang kecuali apabila dengan sekurang – kurangnya dua alat bukti yang sah ia
memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar – benar terjadi dan bahwa
terdakwalah yang bersalah melakukannya”.
Alat bukti
utama yang dapat dijadikan dasar tuntutan dalam tindak pidana Illegal Fishing adalah keterangan saksi
ahli untuk menjelaskan keadaan laut ataupun akibat dari penangkapan ikan secara
ilegal yang disebabkan oleh kajahatan oleh para pelaku Illegal Fishing, proses
ini juga sangat memerlukan waktu yang cukup lama dari tindak pidana umum serta
sangat dibutuhkan ketelitian dalam proses penanganannya. Pembuktian terhadap tindak pidana Illegal
Fishing yang masih mengacu pada KUHAP seperti tersebut diatas, adalah merupakan
kewajiban penyidik dan penuntut umum untuk membuktikan sangkaannya terhadap
tersangka, kemudian alat – alat bukti yang juga mengacu pada KUHAP seperti
halnya tindak pidana biasa, sangat sulit untuk menjerat pelaku – pelaku yang
berada di belakang kasus tersebut. Belum diaturnya mekanisme proses untuk
mengakses alat – alat bukti seperti akses informasi pada bank atau ketentuan
yang memerintahkan kepada bank untuk meblokir rekening tersangka yang diduga
sebagai pelaku tindak pidana.
Ruang Lingkup Tindak Pidana yang Masih Sempit
Ruang lingkup tindak
pidana yang diatur dalam Undang –Undang Nomor 31 Tahun 2004 dan perubahannya
Undang - Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan belum meliputi tindak
pidana korporasi, tindak pidana penyertaan dan tindak pidana pembiaran
(ommission). Tindak pidana Pembiaraan atau (ommission) adalah terutama yang
dilakukan oleh pejabat yang memiliki kewenangan dalam masalah penanggulangan
Illegal Fishing
Rumusan Sanksi Pidana
Rumusan sanksi
pidana dalam pasal Undang - Undang Nomor 31 Tahun 2004 dan perubahannya Undang
- Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan yang memiliki sanksi pidana
denda yang sangat berat dibandingkan dengan ketentuan pidana yang lain,
ternyata belum memberikan efek jera kepada pelaku kejahatan Illegal Fishing.
Ancaman hukuman penjara yang paling berat 6 (enam) tahun bagi pelaku yang
melakukan penangkapan ikan tanpa memiliki atau membawa SIPI (Surat Ijin
Penangkapan Ikan) dan paling berat 7 (tujuh) tahun bagi yang melakukan
pemalsuan dan memakai ijin palsu berupa SIUP, SIPI, SIKPI. Pidana denda yang
paling banyak Rp. 20.000.000.000,- (dua puluh milyar rupiah). Rumusan sanksi
dalam Undang – Undang ini tidak mengatur rumusan sanksi paling rendah atau
minimum sehingga seringkali sanksi pidana yang dijatuhkan tidak memberi efek
jera kepada pelaku. Demikian juga belum diatur tentang sanksi pidana bagi
Korporasi serta sanksi pidana tambahan terutama kepada tindak pidana pembiaran.
Subyek dan Pelaku Tindak Pidana
Subyek atau
pelaku yang diatur dalam ketentuan pidana Perikanan secara tersurat hanya dapat
diterapkan kepada pelaku yang secara langsung melakukan penangkapan ikan secara
ilegal maupun kepada kapal ikan yang yang melakukan transhipment secara ilegal.
Ketentuan tentang pidana perikanan itu belum menyentuh pelaku lain termasuk
pelaku intelektual yang terkait dengan Illegal Fishing secara keseluruhan seperti
Korporasi, Pejabat Penyelenggara Negara, Pegawai Negeri Sipil, TNI/POLRI, dan
Pemilik Kapal.
Proses Penyitaan
Barang bukti
berupa kapal perikanan, ikan dan dokumen – dokumen kapal dalam tindak pidana
perikanan khususnya ikan dalam proses penyitaan sebagai barang bukti sangat
perlu diperhatikan dimana barang bukti tersebut memiliki sifat yang cepat
membusuk sehingga dalam proses penyitaan sebagai barang bukti harus dilakukan
secara baik yaitu setelah barang bukti tersebut disita selanjutnya segera di
lelang dengan persetujuan Ketua Pengadilan kemudian uang hasil lelang tersebut
digunakan sebagai barang bukti di Pengadilan.
Ganti Kerugian
Ekologis
Tindak pidana
Illegal Fishing adalah tindak pidana yang mempunyai dampak terhadap kerugian
lingkungan (ekologis) sehingga sangat perlu dirumuskan pasal tentang
perhitungan kerugian secara ekologis. Hal ini juga belum diatur dalam Undang –
Undang Perikanan.
Kurangnya Wawasan dan Integritas Para Penegak Hukum
Salah satu
faktor yang sangat menentukan dalam penegakan hukum terhadap tindak pidana
Illegal Fishing adalah adanya wawasan
dan integritas para penegak hukum terutama menyangkut penguasaan hukum materil
dan formil, hal ini dikarenakan begitu cepatnya perkembangan masyarakat yang
semakin moderen, telekomunikasi dan teknologi sehingga banyak kejahatan baru
yang bermunculan dengan jenis dan modus operandi yang baru dan beraneka jenis,
termasuk kejahatan tindak pidana Illegal Fishing. Adanya perkembangan jenis
maupun modus operandi suatu tindak pidana harus dibarengi dengan peningkatan
wawasan dan integritas para penegak hukum agar tidak salah dalam menerapkan
hukum dan dapat menegakkan hukum dengan sebaik – baiknya.
2.4. Upaya – Upaya Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana
Illegal Fishing
Upaya Preventif
Sosialisasi
berbagai peraturan perundang – undangan yang mengatur tentang sumberdaya
perikanan dan pengelolaannya kepada masyarakat di Kabupaten Merauke tentang
dampak tindak pidana Illegal Fishing terhadap pembangunan bangsa dan negara
dimasa yang akan datang. Masyarakat diharapkan mengetahui tentang prosedur
mendapatkan ijin penangkapan, pengangkutan dan pengolahan ikan yang benar dan sekaligus untuk menambah
pengetahuan masyarakat guna menghadapi para investor perikanan yang tidak
beritikad baik.
Sosialisasi
teknis proses penegakan hukum tindak pidana Illegal Fishing kepada aparat penegakan
hukum meliputi kualifikasi aspek tindak pidana, dan administratif dalam perkara
Illegal Fishing hal
ini dimaksudkan agar para penegak hukum tidak salah dalam menerapkan aturan
hukum. Penataan
kembali administrasi perijinan perikanan pada Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia,
Dinas kelautan dan Perikanan Propinsi papua dan Dinas kelautan dan Perikanan
Kabupaten merauke. Memperketat
proses pemberiaan ijin penangkapan, pengangkutan, pengolahan ikan dan
pengawasannya. Hal ini dimaksudkan agar Pemerintah dalam hal ini Kementerian
Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia, Dinas kelautan dan Perikanan
Propinsi papua dan Dinas kelautan dan Perikanan Kabupaten merauke tidak
kecolongan atau sembarangan menerbitkan ijin.
Upaya Represif
Dalam
pelaksanaan kegiatan gelar patroli keamanan laut yang dilakukan sejak Tahun
2005 sampai dengan 2009 dilaksanakan oleh Kapal Pengawas milik Kementerian
Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia maupun milik TNI - Angkatan Laut yang
mana kegiatan patroli keamanan laut tersebut melibatkan unsur penyidik TNI - Angkatan Laut dan
penyidik Pegawai Negeri Sipil Kementerian Kelautan dan Perikanan – Republik
Indonesia yang terlaksana secara terpadu. Menindak lanjuti temuan
maupun informasi yang berasal dari petugas intelegen maupun informasi dari
masyarakat tentang adanya tindak pidana Illegal Fishing. Keseriusan menangani
perkara Illegal Fishing dengan
memprioritaskan penanganan perkara Illegal Fishing dalam waktu yang relatif
singkat untuk selanjutnya diserahkan ke Kejaksaan dan diproses lebih lanjut.
Kejaksaan
sebagai Instansi tingkat kedua dalam proses penegakan hukum terhadap tindak
pidana Illegal Fishing setelah Penyidik mengkualifikasikan perkara Illegal
Fishing sebagai
perkara prioritas yang perlu ditangani serius. Hal ini merupakan bentuk
keseriusan pemerintah melalui Kejaksaan dalam memberantas penangkapan ikan
secara ilegal di Indonesia walaupun masih ada kendala terutama dalam proses
membuat tuntutan terhadap pelaku Illegal Fishing yang cukup panjang atau
relatif lama karena harus diajukan kepada Kejaksaan Tinggi dan diteruskan ke
Kejaksaan Agung.
Pengadilan sendiri telah berupaya untuk serius
menangani perkara Illegal Fishing terutama oleh para Hakim dengan menerapkan
aturan hukum yang benar terhadap para pelaku dan memutuskan perkara dalam waktu
yang relatif singkat dengan berdasarkan kepada rasa keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan yang
tercermin dalam putusannya. Terlepas
dari semua itu masyarakat sebagai pihak yang awam terhadap hukum akan selalu
mempertanyakan putusan pengadilan dengan adanya praktek– praktek yang
unprofesional oleh aparat penegak hukum baik PPNS Perikanan, TNI - Angkatan
Laut, Penyidik Polri, Jaksa maupun Hakim namun tentu saja hal tersebut harus
mempunyai dasar yang kuat agar Lembaga Penegak Hukum sendiri tidak dirugikan
dengan tudingan – tudingan yang tidak berdasar. Sebaliknya jika tudingan
tersebut terbukti, maka oknum Penegak Hukum tersebut harus segera ditindak
dengan tegas berdasarkan aturan hukum dan hal ini berarti Lembaga Penegak Hukum
perlu melakukan pembaharuan.
BAB 3. PENUTUP
3.1.
Kesimpulan
Dari bahasan sebelumnya dapat disimpulkan
bahwa:
· Laut Arafura terletak di Indonesia
bagian timur yang secara yuridiksi terdiri dari 2 jenis perairan, yaitu
perairan teritorial dan ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif).
· Penegakan hukum terhadap
tindak pidana Illegal Fishing telah menjadi isu publik yang saat ini sering
diperbincangkan oleh masyarakat sejak adanya Kegiatan Pengawasan Gelar Patroli
Keamanan Lautyang dimulai sejak Tahun 2005 sampai dengan sekarang.
·
Adanya
seperangkat aturan (norma hukum) yang mengatur tentang tindak pidana perikanan
yaitu: 1) Undang - Undang Nomor 31
Tahun 2004, 2) UU
No. 27 Tahun 2007, 3)
Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007,
4) Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2008, 5) Peraturan Menteri Kelautan dan
Perikanan Nomor PER.13/MEN/2005,
6) Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.14/MEN/2005, 7) Peraturan Menteri
Kelautan dan Perikanan Nomor PER.15/MEN/2005, 8) Peraturan Menteri Kelautan dan
Perikanan Nomor PER.05/MEN/2008.
·
Faktor
– Faktor Penghambat antara lain:
1. Obyek
Penegak Hukum Sulit Ditembus Hukum
2. Lemahnya
Koordinasi Antar Penegak Hukum
3. Masalah
Pembuktian
4. Ruang
Lingkup Tindak Pidana yang Masih Sempit
5. Rumusan
Sanksi Pidana
6. Subyek
dan Pelaku Tindak Pidana
7. Proses
Penyitaan
8. Ganti
Kerugian Ekologis
9. Kurangnya
Wawasan dan Integritas Para Penegak Hukum
3.2.
Saran
Sebaiknya sebelum
tugas diberikan mahasiswa diberi pemahaman terlebih dahulu agar mahasiswa tidak
kebingungan tentang pengerjaan tugas.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, S.Z.
(2002). Kebijakan Publik. Yayasan Pancur Siwah, Jakarta.
Mantjoro, E dan
O. Pontoh. (1993). International Fisheries Policy (Kebijaksanaan Perikanan
International). Seri Dokumentasi dan Publikasi Ilmiah Ilmu sosial Ekonomi
Perikanan.Dharma Pendidikan. Laboratorium Ekonomi dan Bisnis Perikanan. Fakultas
Perikanan Universitas Sam Ratulangi. Manado.
Peraturan
Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan
Peraturan
Pemerintah Nomor 30 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penelitian dan Pengembangan
Perikanan
Peraturan Menteri
Kelautan dan Perikanan Nomor PER.13/MEN/2005 tentang Forum Koordinasi
Penanganan Tindak Pidana di Bidang Perikanan
Peraturan Menteri
Kelautan dan Perikanan Nomor PER.14/MEN/2005 tentang Komisi Nasional Pengkajian
Sumber Daya Ikan
Peraturan Menteri
Kelautan dan Perikanan Nomor PER.15/MEN/2005 tentang Penangkapan Ikan dan/atau
Pembudidaya Ikan Di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia Yang Bukan
Untuk Tujuan Komersial,
Peraturan Menteri
Kelautan dan Perikanan Nomor PER.05/MEN/2008 tentang Usaha Perikanan Tangkap.
Peraturan Menteri
Kelautan dan Perikanan Nomor PER.06/MEN/2008 tentang Penggunaan Pukat Hela di
Perairan Kalimantan Timur Bagian Utara,
Peraturan Menteri
Kelautan dan Perikanan Nomor PER.08/MEN/2008 tentang Penggunaan Alat Penangkap
Ikan Jaring Ingsang (Gill Net) di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI)
Undang - Undang
Nomor 31 Tahun 2004 dan perubahannya Undang - Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang
Perikanan,
Undang - Undang
No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau – Pulau Kecil
serta aturan pelaksanaannya lainnya seperti : Peraturan Pemerintah Nomor 54
Tahun 2005 tentang Usaha Perikanan,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar